Review Film: Danur(2017)

netralnews.com

Kita beruntung kembali ke era dimana film-film produk anak negeri mulai kembali diminati khalayak lokal. Setidaknya gembar gembor insan perfilman diatas sana bahwa film-film Indonesia harus menjadi raja di negeri sendiri kini menemukan titik cerah. Antrian panjang film lokal seringkali bersandingan dengan film-film bintang lima Hollywood, mencerminkan kualitas film kita yang tidak main-main. Lupakan dengan genre horor tete yang menjadi kenangan pahit produk perfilman negeri, karena genre-genre lain seperti komedi, drama, action bergantian menguasai singgasana bioskop tanah air.

Danur hadir tepat ketika genre horor justru lesu di tengah kebangkitan perfilman Indonesia. Ketika era horor tete bisa dikatakan berakhir, film horor beneran yang terbilang outstanding bisa dihitung dengan jari. Cukup menyedihkan sebenarnya, karena genre horor sesungguhnya pernah menguasai panggung perfilman Indonesia setidaknya dua kali, yaitu pada era kejayaan Suzanna dan era kebangkitan di abad 21 melalui film Jelangkung. Jadi, apakah Danur bisa menjadi jawaban atas lesunya genre horor di Indonesia belakangan ini?

Film yang diadaptasi dari novel karangan Risa Saraswati ini berkisah tentang anak perempuan bernama Risa(sang penulisnya sendiri) yang baru saja berulang tahun yang kedelapan. Kedua orangtuanya bekerja dan jarang berada di rumah untuk menemani Risa,  karena itulah Risa hanya memohon satu permintaan di hari ulang tahunnya kali ini, yaitu teman. Ternyata permintaan itu dijawab dan akhirnya Risa punya ‘teman’ bermain di rumahnya, dan cerita pun bergulir hingga mengakibatkan masalah serius bagi keluarga itu dan Risa sendiri yang mengalami kejadian menyeramkan semenjak itu.

Cerita-cerita yang beredar di media tentang eksistensi kelima hantu Belanda cilik tersebut yang begitu real, hingga mempengaruhi keputusan pembuat film untuk mengubah plot cerita hingga poster yang diprotes karena tidak memuat gambar mereka, menjadi bumbu tersendiri yang tentunya membikin penasaran penonton. Dan juga berita bahwa di pemutaran premiere sengaja disisakan lima bangku berbalutkan kain putih yang ‘katanya’ untuk Peter cs. Entah itu beneran atau cuma akal-akalan marketing, tapi fakta bahwa Danur diangkat dari kisah nyata berlatar di Bandung( dan sekolah saya dulu, karena kelima hantu cilik itu sempat berteman dengan Nancy, legenda SMA saya) membuat saya tetap menganggap Danur sangat sayang untuk dilewatkan.

bookmyshow.com


Film ini dibuka oleh intro yang sangat meyakinkan, ketika Risa yang diperankan oleh Prilly Latuconsina bernyanyi dengan aura penuh menyayat hati. Namun ternyata itu hanya pemanis awal.  Paruh awal film terasa membosankan karena perkenalan setiap karakter yang tidak maksimal. Seharusnya paruh awal film digunakan sebaik-baiknya untuk character development yang baik, agar penonton peduli dengan tiap tokoh, dengan latar kisah pilunya masing-masing. Namun hal itu tidak terjadi. Risa sebagai sosok sentral di film ini, sebenarnya punya potensi untuk menjadi pusat simpati penonton. Namun karena durasi yang sempit dan juga harus berbagi ruang bercerita dengan kelima hantu cilik itu membuat penceritaan terasa kurang baik.

Teror sesungguhnya justru dimulai ketika Risa dikisahkan sudah beranjak dewasa. Mba Asih yang tidak lain merupakan tokoh antagonis akhirnya diperkenalkan dengan cara yang elegan. Bahkan lebih baik dibandingkan dengan kemunculan Peter cs. Shareefa Daanish sebagai pemeran Mba Asih tentu saja menjadi faktor utama kenapa Mba Asih sebagai tokoh antagonis justru lebih menonjol dibanding Prilly sebagai Risa. Atmosfer kengerian yang ditimbulkan oleh mimik Mba Asih yang selalu tersenyum manja setiap kamera menyorot mukanya memang tak ada tandingan. Persis seperti perannya sebagai penjagal bertangan dingin di thriller Rumah Dara. Jika saja porsi bermain film horor dia lebih ditingkatkan, komparasi dia dengan Suzanna bukanlah sebatas lelucon belaka.

lastthingisee.com


Paruh kedua ini menjadi inti film. Jumpscare bertebaran dimana-mana. Namun kembali lagi sayang beribu sayang, eksekusi penampakan yang kurang matang membuat beberapa scene yang seharusnya berpotensi menimbulkan kengerian lebih malah jadinya datar. Di bagian klimaks film ini juga sebenarnya bisa lebih moncer jika dieksekusi dengan gaya Insidious. Tapi lagi-lagi yang terjadi adalah kekecewaan. Jika dibreakdown kebelakang, maka ada tiga hal yang mengganggu saya sepanjang film ini berputar yaitu, character development yang tidak maksimal sehingga ketiga hantu cilik yang seharusnya jadi karakter yang lovable menjadi biasa saja bagi kalangan non pembaca novelnya. Kedua yaitu durasi yang kurang sehingga ruang bercerita bagi para tokohnya jadi sempit, dan pada akhirnya adegan-adegan seram yang menjadi inti film horor jadi terburu-buru dan terkesan dipaksakan. Dan yang terakhir scoring di paruh awal film yang terasa seperti film sinetron kacangan, itu benar-benar mengganggu pendengaran saya. Hingga di suatu titik saya bertanya, beneran nih film horor yang digembar gembor orang bakal seru abis ini? Untung saja paruh kedua berhasil menyelamatkan film ini, setidaknya jika tolok ukurnya scoring.


Bertolak belakang dengan opini saya diatas, Danur meraih atensi begitu luas. Di hari pertama saja Danur mencetak rekor sebagai film horor Indonesia dengan penonton paling banyak di hari pertama. Jika ditanya, apakah Danur pantas menjadi tonggak kebangkitan film horor Indonesia? Bisa jadi. Mungkin produser-produser di sana tergugah untuk menelurkan film-film horor yang digarap secara serius, dan kebangkitan film horor Indonesia untuk yang ketiga kalinya akan segera terjadi. Semoga saja.

*di novel ada lima hantu cilik yang diceritakan, tapi di film yang tampil hanya tiga.

0 komentar:

Post a Comment